Cerpen : Lembayung di Batas Kota
LEMBAYUNG DI BATAS KOTA
Hari
itu sudah sangat sore ketika aku sampai di pasar. Betapa berat rasanya meninggalkan
ibu sendirian di gubug bilik bambu. “Maafkan aku , Ibu. Semoga lewat do’amu aku
akan bertahan hidup,” kataku dalam hati. Air mata pun tak tertahan dari sudut
mata. Aku benahi kantong keresek yang penuh dengan pakaian dan buku-buku. Andai
saja kupunya koper atau rangsel mungkin tak repot begini. Walaupun begitu tak
membuatku mundur pulang ke rumah.
Angkot yang kunaiki mulai melaju.
Kerinduan demi kerinduan terus membuntutiku. Kenangan masa silam bagaikan layar
lebar terpampang di hadapanku. Mampuhkah aku mengubur kerinduan-kerinduan itu.
Bisakah aku menyimpan semua kenangan. Adakah obat penawar luka agar aku dapat
melalui jalan yang berliku.
Kerinduan-kerinduan yang menumpuk.
Kasih sayang yang terhalang. Rasa cinta yang tertunda. Seakan menjadi penyebab
berat dan pusingnya kepala. Saputangan kenanganpun sudah tak kering lagi.
Karena terlalu deras air mata yang keluar. Bahkan ujung kerudungpun basah pula.
Kerinduan-kerinduan pada kampung
halaman , teman-teman, saudara . Ada kerinduan yang belum bisa kuhapus ,
kerinduan pada masa lalu. Rindu dan sayang pada cinta pertama. Cinta yang tak
mungkin terlaksana. Ada kerinduan yang tak mungkin bisa terkubur. Rindu pada
ayah yang telah tiada. Walau begitu aku masih bisa menabung kerinduan untuk
ibu. “Ibu, suatu hari nanti kukembali ke kampung. Ibu, tunggu aku ! Takkan lama.”
Kuhapus air mata dengan ujung lengan, walaupun isak tangis masih terasa. Sampai
akhirnya aku bisa membendungnya juga.
Sepuluh menit sebelum aku sampai di
batas kota, seorang laki-laki menyetop mobil, naiklah dia. Ketika aku
tersenyum, dia menyapaku. “Hai Nina, apa kabar?” katanya sambil duduk di
sampingku. “Aku baik-baik saja. Aa Nanu gimana? Lama kita tak bertemu,” kataku
sambil menunduk malu.
Aku merasa malu. Karena yang
menyebabkan aku dan Aa Nanu berpisah, kan aku. Aku pernah tak menghiraukannya.
Waktu dia bersungguh-sungguh padaku. Saat itu ada orang lain yang menyayangi
aku. Namanya Didin. Didin sangat perhatian
dan mau mengerti keadaanku.
Setiap jam istirahat sekolah, Didin
selalu menungguku di depan pintu kelas. Sampai suatu hari, kedua orang tuanya
mengetahui latar belakang kehidupanku. Mereka tak menyetujui hubunganku
dengannya. Walapun sebenarnya mereka tidak secara langsung mengatakan
ketidaksetujuannya padaku. Kami pun
berpisah. Walau saat perpisahan sekolah aku merasa kehilangan, tapi apa
boleh buat. Persabahatan itu sangat berharga bagiku. Aku tahu dia sangat
terpukul dengan keputusan orang tuanya. Itu terlihat setelah dia gagal mengikuti
testing ke perguruan tinggi negeri. Secara diam-diam aku menjumpainya. Kucoba menghiburnya,
kalau dia bisa coba lagi mengikuti tes tahun depan. Aku berharap, dia mau
menunggu aku yang baru naik ke kelas tiga.
Didin satu-satunya lelaki yang mampu
menggantikan posisi cinta pertamaku. Dia pula salah seorang yang membuat aku
bisa bertahan sekolah. Setiap hari dia selalu menyemangatiku. Aku sangat
menyukai kesederhanaannya, kedermawanannya. Aku berharap suatu hari nanti
menemukan lelaki yang menyayangiku dengan tulus.
“Nina
... !” kata Aa Nanu mengejutkan aku yang sedang melamun. “Kok melamun. Aa baik-baik saja. Cuma ingat terus sama Nina.
Aa selalu menunggu, tapi Aa tak berani mendekatimu, Nin. Aa yakin waktu itu
Nina masih pacarnya Didin. Aa takut menggannggu kalian berdua. Jadi, Aa balik kanan saja,”kata A Nanu sambil
tersenyum .
Terbayang
senyumannya masih sama seperti waktu dulu. Sayangnya, waktu itu aku
tak tahu kalau A Nanu memendam sesuatu. Aku pun akan berusaha mempertahankan
hubunganku dengan Didin, walaupun tak
mungkin. Aku akan menunggu sampai Didin mendapatkan jodoh yang cocok untuknya.
Setelah itu aku akan mencoba melupakannya. Walaupun pada kenyataannya Didin selalu mendekat.
“
Kita cuma bersahabat kok. Aku berusaha menjaga jarak,"kataku. "Kalau Aa tahu kalian cuma bersahabat, Aa akan maju jalan," kata A Nanu tertawa lebar. "Bagaimana maksudnya, tadi katanya balik kanan, sekarang maju jalan?' tanyaku padanya. "Ya mau nembak Nina,"jawabnya dengan pipi kemerahan.
Iya sih, aku pernah merasa kehilangan,” kataku. "Kalau Nina merasa kehilangan, itu namanya cinta, Nin. Karena cinta itu susah untuk diungkapkan langsung kepada orangnya,”kata A Nanu. “ Aku tak mungkin sama dia. Dia kan anak orang kaya,” kataku sambil merapikan rok yang tertiup angin. A Nanu menutup pintu angkot.
Iya sih, aku pernah merasa kehilangan,” kataku. "Kalau Nina merasa kehilangan, itu namanya cinta, Nin. Karena cinta itu susah untuk diungkapkan langsung kepada orangnya,”kata A Nanu. “ Aku tak mungkin sama dia. Dia kan anak orang kaya,” kataku sambil merapikan rok yang tertiup angin. A Nanu menutup pintu angkot.
“Aa
juga tidak mau mengecewakan kedua orang tua. Sebenarnya Aa sudah dijodohkan
oleh mereka. Aa merasa lega telah bertemu denganmu, Nin. Maafkan Aa,”katanya
sambil mengusap air mata yang tiba-tiba ke luar
dari kedua matanya. “Tidak, Aa.
Aa tidak salah. Aku yang salah. Aku tidak tahu kalau Aa selalu menungguku,”
kataku sambil menunduk takut jika dia tahu melihatku menangis juga.
Ingin
aku menghapus air matanya. Seperti A Nanu menghapus air mataku dengan
saputangan. Saputangan kenangan yang sekarang terselip di kantong bajuku. Namun
saputangan masih basah. Dua tahun sudah
aku memakai saputangan dari A Nanu. Aku tidak tahu , kalau saputangan itu tanda
cinta.
Rupanya,
A Nanu tahu kalau aku menangis. Disodorkannya saputangan ke tanganku. Dengan ragu
aku menolaknya. Ada rasa takut. “Maafkan aku, A. Simpan saja saputangan itu
buat orang yang akan menyayangi Aa. Aku masih menyimpan saputangan yang dulu Aa
kasih. Sekarang ada di kantong bajuku.” “Baiklah, Nin. Kalau itu maumu,”katanya
dengan suara pelan sekali.
“Batas kota ! Batas kota !” seru kenek.”Nina
sudah batas kota nih,”kata A Nanu.“Aa turun di sini?” kataku.”Sebentar lagi.
Sebenarnya Aa ingin lebih lama lagi bersamamu. Aa ingin memandangi lembayung di
batas kota ini hanya bersamamu. Seperti
kita pernah memandangi lembayung di atas bukit
waktu itu. Nina masih ingat?”
katanya. “ Ya , A. Aa bilang hidup ini penuh warna, seperti lembayung. Warna
itu pun akan berubah dalam sekejap,” kataku. “ Benar, Nin. Mungkin warna kita
berbeda, seperti jalan kita yang berbeda pula,” katanya dengan suara
pelan. Terlihat olehku seakan-akan ada sesuatu di tenggorokannya. Mungkin itu
yang membuat suranya pelan. Aku tambah
yakin dengan matanya yang berkaca-kaca, menahan tangis.
“Kiri
, Pak!” seru A Nanu. Angkot berhenti. “ Mari, Nina, biar Aa yang bayar,”
katanya sambil membayar ongkos, kemudian
melambaikan tangan. Berat bibir ini untuk berucap. Aku mengangguk sambil membalas
melambaikan tangan. Tak terasa angkot pun sampai di terminal. Aku turun sambil
menjinjing kantong keresek kanan dan kiri. Aku berjalan melewati kampus untuk
mencari tempat berlindung agar tidak kemalaman. Semoga ada tempat kost yang
harganya murah.
Lembayung
perlahan mulai menghilang seiring
tenggelamnya matahari. Aku berharap akan berhasil menjadi sarjana. Harapanku
waktu dulu seterang matahari, sekarang jadi seterang rembulan. Rembulan yang
sebentar lagi akan muncul jika malam tak mendung. Tapi aku berharap walaupun mendung, masih ada bintang-bintang
yang bisa kupandangi. Aku juga berharap esok hari bisa memandangi lembayung di
kampus ini.
Komentar
Posting Komentar