Cerpen : Serantang Bakso di Gerimis Hujan
Serantang Bakso di Gerimis Hujan
Sore
itu, entah mengapa aku ingin sekali ke
rumah temanku. Padahal aku harus cepat-cepat pulang ke rumah. Temanku, Yudi
namanya. Kami telah berteman setahun yang lalu.
Seperti
biasa setiap aku akan mengetuk pintu, pintu langsung dibuka. Seakan Yudi tahu
kalau aku ada di luar. Aku disambut dengan senyum
yang manis. Senyum itu tak asing lagi bagiku, karena setiap jam istirahat dia
selalu tersenyum di depan pintu kelasku.
Aku
masuk ke dalam rumah mengikuti langkahnya. Dia isyarat dengan tangannya supaya
aku duduk. Aku duduk setelah salaman dengan Mimih, ibunya Yudi. Aku menunduk
malu karena ada Mimih duduk di sampingku. Ingin rasanya aku pulang walau baru datang. Tetapi kuurungkan niatku,
karena hujan tiba-tiba turun.
“Mimih
mau pergi dulu ke warung ya ,Nina?” kata Mimih. “Ya, Mih,” jawabku. Hatiku agak
sedikit lega. Walaupun begitu ada rasa takut, karena di rumah cuma berdua
dengan Yudi.
“Nina,
Yudi ke luar sebentar!” kata Yudi. “Ya, Yud,” kataku sambil menatap Yudi yang tak
luput dari senyum manisnya.
Sebelum
ke luar, Yudi masuk ke dapur. Entah apa yang dilakukannya. “Prak-prak,”
terdengar suara dari dapur. Seperti suara perabotan yang tersenggol. “Ada apa,
Yud?” kataku sambil menghampirinya. “Gak apa-apa. Ini aku lagi cari payung. Eee
malah nyenggol rak piring,” jawabnya. “Payungnya tadi di bawa Mimih, Yud!”
kataku. “O, iya,”kata Yudi sambil mengambil nampan bulat yang terbuat dari
bambu. Orang sunda menyebutnya nyiru.
Yudi
memegang nyiru di tangan kanannya dan rantang di tangan kirinya. Lalu ke luar
menerobos gerimis hujan. Nyiru diletakkan di atas kepala.
Aku
masuk kembali ke ruang tamu. Dari balik jendela kaca kubuntuti Yudi dengan
pandanganku sampai menghilang dari pandangan. Aku bertanya dalam hati : “Apa
yang akan Yudi lakukan?”
“Nina
, Yudi ke mana ?” tanya Mimih sambil masuk ke dalam rumah. “Tidak tahu, Mih,”
jawabku. “Kita tunggu saja, ya?” kata Mimih. “Ya, Mih,” jawabku.
Aku
menatap ke luar menunggu kedatangan Yudi . Tak lama kemudian dia muncul di antara gerimisnya
hujan. Nyiru yang tadinya dipakai menutup kepala, sekarang dipakai menutupi
rantang. Entah apa isi rantang itu? Sampailah dia di depan pintu. Terlihat olehku,
pakaiannya basah. Dia tak peduli dengan badannya yang kehujanan. Dia berusaha
melindungi isi rantang. Dari harumnya seperti bakso di dalam rantang itu. Dia
menaruh nyiru di balik pintu. Lalu dia masuk ke dapur.
“Yud,
ada apa ribut-ribut di sana ?” tanya Mimih. “Oh, ini Mih, Yudi nyenggol rak
piring. “Sudah siap belum makanannya, Yud?” tanya Mimih. “Sebentar , Mih,”
jawab Yudi.
Aku
merasa aneh sudah dua kali Yudi nyenggol rak piring. “Ah, mungkin itu
kebetulan,” kataku dalam hati. Aku ingin menghampirinya. Tapi perasaan itu
kutahan. Bukan karena ada Mimihnya. Tapi entah mengapa berat rasanya kaki ini
untuk berdiri dan melangkah. Tak biasanya. Aku duduk, menunduk di hadapan
Mimih.
“Nina,
sini dong!” Yudi memanggilku. “Nina,
Yudi memanggilmu tuh!” kata Mimih. “Iya, Mih,” kataku .
“Yudi,
sudah disiapkan makanannya?”tanya Mimih. “Sudah, Mih,” jawab Yudi dari dapur. “Mimih
mau ke luar sebentar ya, Nin?” kata Mimih sambil ke luar dari rumah. “
Iiii...ya, Mih ...,” kataku dengan gugup. Entah mengapa tak biasanya. Padahal
Mimih sudah kuanggap seperti tanteku sendiri.
Aku
berdiri sambil memandang Mimih yang sedang berjalan ke luar. Tiba-tiba aku
dikejutkan dengan bisikan di telingaku. “Ayo , Nina !” bisik Yudi dengan
lembut. Begitu aku membalikan badan, wajahku pas menatap wajah Yudi yang sedang
menatapku dengan senyum manisnya yang khas. Kali ini gugupnya melebihi gugup
ketika berkata kepada Mimih. Mulutku ternganga tanpa suara. Kakipun berat
rasanya untuk melangkah. Pelan-pelan aku mengikutinya ke dapur.
Yudi
isyarat dengan tangan agar aku duduk di dekatnya. Sekarang bukan perasaan gugup
lagi, entah apa namanya. “Ada apa dengan semua ini?” kataku dalam hati.
“Nina
sakit, ya ?” tanya Yudi yang tak luput dari senyum manisnya. “Ah..., tidak ....
memang kenapa?” jawabku sambil balik bertanya. “Tidak apa-apa. Yudi perhatikan
dari tadi Nina kaya gemeteran,” kata Yudi. “Bukan kayanya, memang aku
gemeteran, gak cuma itu hati dan pikiran tak karuan,” kataku dalam hati.
Kutatap
Yudi yang sedang memegang rantang. “Ayo dimakan baksonya, Nin ! Nanti dingin,
lho,” kata Yudi sambil mendekatkan rantang berisi bakso.
“Yudi
kali yang sakit, tuh tangannya
gemeteran,”kataku sambil memegang rantang berisi bakso yang dipegangnya. Aku
baru sadar kalau rantang masih dipegangnya. Dan yang kupegang bukan rantang
melainkan tangan Yudi. “O..., iya terima kasih, Yudi,” kataku.” Iii... yaaa...
, eee... sama-sama,” kata Yudi.
Aku
heran kok malah berbalik, tadi aku yang gugup. Sekarang sepertinya dia yang
tampak gugup. Ada apa dengannya? “Ah, untuk apa dipikirkan. Mendingan dimakan
saja baksonya kebetulan sudah lapar, “ kataku dalam hati.
Sambil
menunduk, kuhabiskan bakso itu. Setelah habis ku tatap wajah Yudi. Tampak
bahagia kelihatannya. “Enak, ya?” kata Yudi. “Iya, Yud,” kataku sambil
mengangguk. “O ..., iya lupa. Mengapa gak pakai nasi, Nin ?” kata Yudi. “Gak
papa, Yud. Lagi pula sudah habis nih,” jawabku.
“Nin,
maafkan Mimih belum sempat masak,” kata Mimih mengejutkanku dari belakang.
Entah kapan Mimih masuk ke dapur. Setahuku tadi Mimih pergi. “Syukurlah, Yudi
sudah membelikan bakso,”kata Mimih sambil menyimpan belanjaan.
“Mimih
, aku pamit pulang, ya !” kataku. “O, ya. Hati-hati di jalan ! Salam buat
mamahmu,” kata Mimih. “ Baik, Mih,” jawabku. “Yudi, antarkan Nina pulang!”
pinta Mimih kepada Yudi. “Baik, Mih,” kata Yudi.
Aku
sebenarnya risi diantar pulang oleh Yudi, tapi aku takut dikatakan menolak niat
baik Mimih. Yudi mengantarku dengan motor bebek kesayangannya. Aku gak berani
memegang pundak Yudi apalagi memegang
pinggangnya. Walaupun jalan masih berbatu waktu itu. Aku memilih memegang besi
belakang motor. Hatiku degdegan tak karuan. Bukan karena apa-apa tapi aku takut
karena boncengan menurutku resikonya besar. Walaupun dia sahabat, tetapi tidak
seperti saudara. “Tuhan, maafkan aku,” kataku dalam hati. Aku ingin segera
turun. “Nin, pegangan!” kata Yudi dengan suara lembut. “Yaaaaaa...,”kataku.
“Mana, disuruh pegangan,”katanya lagi. “Ini sudah pegangan kataku. Nih sudah
kupegang erat besinya,”kataku. “Nina, Nina, kenapa gak pegang Yudi,”kata Yudi.
“Takut, Yud,” kataku. “Takut dibawa kabur, ya,”kata Yudi sambil tertawa.
Motorpun
sampai di pinggir jalan raya. Aku pulang ke rumah naik angkot. Hatiku lega
karena perasaan takut mulai hilang. Tapi mengapa ada perasaan lain yang
menggantikan rasa takut. Apa karena kebaikan Yudi? Entahlah, mungkin juga. Yudi
sudah berusaha menyenangkan hatiku. Dia berusaha menerobos hujan hanya untuk
serantang bakso. Bukan baksonya yang membuatku bahagia melaikan usahanya itu.
“Ya , Tuhan semoga Engkau membalas segala kebaikannya, aamiin.”
Komentar
Posting Komentar